Rabu, 03 Maret 2021

Bid'ah yang sebenarnya



Zaman nabi, ketika mendengar perkataan nabi, maka kaum mukminin "sami'na wa atho'na" kami dengar dan kami taati

Zaman sahabat nabi, setelah nabi wafat, ketika mereka mendengar perkataan nabi maka kaum mukminin "saya dengar yang bagi saya adalah hadis nabi tanpa menyalahkan sahabat lain dan biarkan Al Qur'an yang menjadi penentunya" ini yang dilakukan oleh Imam Ali as dan Muawiyah dalam perang Siffin

Yang mendengar dan menyalahkan serta membunuh orang lain hanyalah kaum khawarij

Zaman tabiin, atau zaman setelah sahabat nabi, ketika mereka mendengar hadis nabi maka yang terjadi adalah "kami dengar dan kami taati yang bagi kami tidak bertentangan dengan Al Qur'an tanpa harus menyalahkan orang lain, ini yang dilakukan Umar bin Abdul Azis, imam Malik, imam Hanafi, Imam Syafi'i, Imam Ja'far Shodiq as, semuanya bebas memeluk pemahaman mana saja dan dimana saja, merdeka dalam menjalankannya.

Zaman tabiut tabiin barulah terjadi bid'ah yang tidak pernah dilakukan oleh zaman zaman sebelumnya

Hadis mulai dikelompokkan mana yang shohe dan mana yang tidak menurut sekelompok orang yang mayoritas dan dominan, ini adalah "superioritas golongan" 

Menyalahkan kelompok lain sebagai sesat dan wajib diperangi

Padahal zaman sahabat tidak seperti itu, hadis bertebaran, siapapun berhak menyampaikan hadis yang bagi dia itu adalah hadis nabi tanpa ada yang mengatakan itu hadis shohe ataupun dhoif sebab istilah itu baru ada pada 200 tahun kemudian ketika Bukhari Muslim lahir dan menciptakan istilah baru yang kemudian menciptakan Malapetaka

Mengapa? Karena disaat itulah hadis hadis yang dianggap tidak shohe baginya dimusnahkan, dihapuskan, jumlahnya mencapai ribuan bahkan jutaan hadis

Akibatnya hadis yang tidak terdapat didalam kitab hadis karangan Bukhari Muslim adalah dianggap dhoif, sesat, bid'ah dan kafir maka mulailah berkecamuk perang antar Mazhab yang tidak pernah terjadi di zaman sahabat, zaman tabiin, sebab semua orang pada saat itu berhak mempunyai hadis apapun tanpa orang lain berhak meyesat nyesatkannya

Kapan itu terjadi? 

200 tahun setelah nabi wafat, orang orang yang sok pintar mengelompokkan hadis hadis berdasarkan sanad dan matan. Sanad itu rantai periwayatan, sedangkan matan adalah isi hadisnya.

Mana kala didalam sanadnya ditemukan orang yang dianggap pendusta, pelaku bid'ah maka hadis itu dianggap dhoif, padahal bisa saja dia memang pendusta tapi bisa jadi hadis yang dia sampaikan benar benar dari nabi yang dia dengar dari orang lain, hanya karena dia seorang pendusta atau dituduh seorang pendusta maka hadis itu dibuang dan dimusnahkan. Nah bagaimana jika ternyata hadis itu benar benar ternyata hadis nabi? Nah celaka, hadis nabi dimusnahkan

Makanya zaman sahabat dan tabiin ketika orang yang membawakan hadis itu seorang pendusta maka orang tidak berani menyatakan itu hadis palsu, mereka tetap mencatatnya dan membiarkan Al Qur'an yang memutuskan apakah sejalan dengan Al Qur'an atau tidak, jika sejalan maka tetap dipakai dan disimpan

Hal inilah yang kemudian di 200 tahun setelahnya disortir dan dibuang

Mengapa harus dibuang? Jika itu benar hadis nabi bagaimana? Maka inilah bid'ah yang sebenar benarnya

Disamping itu hal ini adalah kezaliman, bagaimana tidak, sanad atau rantai periwayatan hadis itu berjenjang dari generasi pertama kepada generasi kedua, ketiga dan keempat yang kesemua generasi itu bisa jadi telah wafat, lalu satu atau dua periwayatnya dijustifikasi sebagai pendusta tanpa hak jawab padahal mereka telah wafat. Ini adalah kezaliman yang nyata

Menegakkan keyakinan diatas kezaliman adalah kezaliman itu sendiri

Makanya sejak awal pada tabiin atau sahabat nabi tidak pernah berani menjustifikasi periwayatan hadis, sebab itu sama saja zalim kepada orang lain dan hadis itu sendiri

Hal itu baru terjadi di masa 200 tahun setelahnya, dan disanalah asal mula Malapetaka terbesar umat Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar