Senin, 17 Februari 2020

contoh Hadis Hoax

Yang memerintahkan itu nabi? Tapi hadisnya bukan hadis nabi? Tapi hadis sahabat

Hadis nabi itu yang paling kuat adalah ucapan nabi, misalnya nabi bersabda bla bla bla..

Jika hadisnya "nabi melarang, nabi menyuruh" itu sejatinya bukan hadis nabi tapi hadis yang mengatasnamakan nabi, dan ini hukumnya sangat lemah, karena bentuk pertanggungjawabannya jatuh bukan kepada nabi, tapi kepada orang yang mengatasnamakan nabi.

Bisa dihukumi hadis Hoax
Mengatasnamakan nabi


Ini salah satu contohnya

Edisi Membantah Hoax

HOAX, SALAFI MELARANG MENINGGIKAN KUBURAN

Kalangan ahlul bid'ah menuduh salafi ahlussunnah wal jamaah (yang mereka gelari wahabi) melarang meninggikan kubur dan memerintahkan untuk membongkarnya. Padahal yang melarang dan memerintahkan untuk meratakan kuburan yang dibangun adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan amalan para salaf. 

Salafi ahlussunnah dari zaman ke zaman hanya mengikuti sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan sunnah para khulafaur rasyidin, termasuk dalam perkara kuburan. Mereka tidak membangun kubur, menembok dan mengkramiknya. Cukup hanya gundukan tanah semata sekitar setinggi satu jengkal. 

Berkata Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ  (رواه مسلم).

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim).

Dan berkata Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:

نَهَى  النَّبِىُّ  صلى  الله عليه وسلم أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا وَأَنْ يُبْنَى  عَلَيْهَا  وَأَنْ  تُوطَأَ (رواه الترمذي و ابن حبان - قال الشيخ الألباني : صحيح).

Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyemen kuburan, menulisinya, mendirikan bangunan di atasnya, duduk di atasnya dan menginjaknya (HR, Ibnu Majah  dan At Tirmidzi. Berkata Syekh Al Albani : Hadits Shahih).

Dan berkata Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُلْحِدَ وَنُصِبَ عَلَيْهِ اللَّبِنُ نَصَبًا ، وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ.

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya dan al Baihaqi,  Berkata Syekh Al Albani dalam kitab ahkamul janaiz hadits ini sanadnya hasan).

Berkata Sufyan at Tamar radhiyallahu anhu:

رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مُسَنَّمًا. (رواه البخاري).

“Aku melihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk”. (HR. Bukhari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita kaum muslimin untuk meratakan kubur, tidak meninggikannya, apalagi membangunya.

Berkata Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu :

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا

“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim).

Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku:

ألَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَه
ُ
“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim).

Dibawah ini penulis tuangkan mengenai pendapat para ulama mengenai meninggikan kuburan, membangunnya dan lain sebagainya.

Berkata Imam Syafi’i rahimahullâh :

Dimakruhkan (dibenci) menembok kuburan, menulis nama yang mati (dibatu nisan) di atas kuburan atau tulisan-tulisan yang lain dan membuat bangunan di atas kuburan. (Al Majmu V/266).

Dan berkata Imam Syafi’i rahimahullâh :

“Saya suka kalau tanah kuburan itu tidak ditinggikan dari selainnya dan tidak mengambil padanya dari tanah yang lain. Tidak boleh, apabila ditambah tanah dari lainnya menjadi tinggi sekali, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja. Saya hanya menyukai ditinggikan (kuburan) di atas tanah satu jengkal atau sekitar itu dari permukaan tanah”.

“Saya suka bila (kuburan) tidak dibangun dan ditembok, karena itu menyerupai penghiasan dan kesombongan, dan kematian bukan tempat bagi salah satu dari keduanya. Dan saya tidak melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar ditembok. Seorang perawi menyatakan dari Thawus, bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah melarang kuburan dibangun atau ditembok. Saya sendiri melihat sebagian penguasa di Makkah menghancurkan semua bangunan di atasnya (kuburan), dan saya tidak melihat para ahli fikih mencela hal tersebut."  (Al Majmu V/266).

Berkata Imam Nawawi rahimahullâh  :

“Dimakruhkan (dibenci) menembok kuburan, mendirikan bangunan, dan menuliskan sesuatu di atasnya. Apabila bangunan itu didirikan di atas tanah kubur yang diwakafkan fi sabilillah, maka hal itu harus dirobohkan.” (Al-Muhadzdzab I/456).

Berkata Asy Syaukani rahimahullâh  :

“Kubur tidak boleh ditinggikan terlalu tinggi, tanpa ada beda antara kubur orang yang terpandang dengan yang lainnya. Zhahirnya, meninggikan kubur lebih dari kadar yang dibolehkan hukumnya haram. Demikian yang telah ditegaskan oleh rekan-rekan Imam Ahmad dan beberapa orang rekan Imam Syafi,I” ( Nailul Autar (IV/131).

Berkata Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullâh :

“Perbuatan-perbuatan haram yang paling besar dan sebab-sebab yang menyeret kepada kemusyrikan adalah shalat di atas kuburan, menjadikan kuburan sebagai masjid, dan membuat bangunan di atasnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh, maka kata makruh ini harus diartikan lain, yakni haram. Sebab tidak mungkin para ulama membolehkan sesuatu perbuatan di mana Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melaknat pelakunya, dan berita tentang laknat dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ini diterima dari generasi ke generasi.” (az-Zawajir’an Iqtiraf al-Kabair, I/195).

Dan berkata Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullâh:

“Bangunan-bangunan di atas kuburan itu harus segera dihancurkan, begitu pula kubah-kubah yang ada di atasnya, karena bangunan-bangunan itu lebih berbahaya dari pada masjid dhirar. Membuat bangunan itu merupakan tindakan durhaka kepada Rasululallah shallallahu’alaihi wasallam, karena beliau melarangnya, dan beliau memerintahkan untuk menghancurkan kuburan-kuburan dibangun menonjol dari dataran tanah. Sedangkan lampu-lampu yang dipasang di atas kuburan harus dihilangkan, dan tidak boleh mewakafkan lampu-lampu, atau nadzar memasang lampu-lampu untuk kepentingan tersebut.” (az-Zawajir’an Iqtiraf al-Kabair, I/195).

AFM

Rabu, 05 Februari 2020

MAKNA SYIAH SECARA BAHASA


Belakangan ini, seiring merebaknya media-media internet dan situs-situs yang hobi menyebar berita palsu (hoax), hasutan, dan fitnah, banyak orang yang bertanya saja keliru. Alih-alih malah hanya doyan menuduh tanpa hujjah & ‘ilmu, contohnya dalam kasus Syi’ah. Seorang yang benar dalam bertanya, contohnya dalam masalah Syi’ah, mestinya akan bertanya: [1] Apa Syi’ah itu secara bahasa? [2] Apa pengertian Syi’ah itu secara teologis, dan [3] Kepada siapa sajakah sebutan Syi’ah itu dimaksudkan?

Maka, jika pertanyaan-pertanyaannya benar, seperti yang dicontohkan, (ini sebagai misal saja), akan didapat jawab, PERTAMA: Syi’ah secara bahasa berasal dari Al-Qur’an: ….. وإن من شيعته لإبراهيم

(1) - “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)” (QS. Ash-Shaaffaat: 83). Jika kita membaca ragam kitab tafsir, umumnya akan dikatakan bahwa kata “Syi’ah” dalam ayat tersebut artinya atau memiliki arti dan pengertian sebagai “golongan”, “penerus”, “penolong”, “pengikut”, dan “pembela” (Silahkan bandingkan dengan ayat yang ada dalam Surah Al-Baqarah ayat 15....هذا من شيعته وهذا من عدوه) = Hadza min Syi'atihi (Dan ini dari Syi'ahnya Musa) wa hadza min 'aduwwihi (dan ini dari musuhnya Musa as).

Syi’ah di sana (dalam Surah As-Shaffat ayat 83) berarti sebuah kelompok atau seseorang yang meneruskan agama atau “iman”-nya Nabi Nuh as –di mana yang dimaksud secara khusus dalam Surah As-Shaffat ayat 83 tersebut adalah Nabi Ibrahim as, sedangkan Syi'ah dalam Surah Al-Baqarah ayat 15 adalah 'golongan', 'ummat', dan 'pengikut' nabi Musa as. Maka dikatakan bahwa Ibrahim as adalah Syi’ah-nya Nuh as.

(2) -  (Secara teologis, siapa peletak dasar Syi’ah?): Orang yang pertama memberikan nama Syi’ah kepada para pengikut Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib as adalah Rasulullah Saw dan ia pula sebagai peletak dasar batu fondasinya serta penanam benihnya, sedangkan orang yang mengukuhkannya adalah Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib as. Semenjak saat itu, para pengikut ‘Ali dikenal sebagai Syi’ah ‘Ali bin Abi Thalib.

Ibn Khaldun berkata di dalam Muqaddimah-nya, “Ketahuilah! Sesungguhnya Syi’ah secara bahasa artinya adalah sahabat dan pengikut. Dan di dalam istilah para fuqaha dan ahli kalam, dari kalangan salaf dan khalaf, sebutan Syi’ah ditujukan kepada para pengikut ‘Ali dan anak keturunannya.”

Dan di dalam Khuthathu Syâm, karya Muhammad Kurd ‘Ali, cukuplah sebagai hujjah tentang penamaan istilah Syi’ah. Ia secara tegas berkata bahwa Syi’ah adalah sekelompok dari golongan sahabat Rasulullah Saw yang dikenal sebagai Syi’ah ‘Ali. Muhammad Kurd’ Ali berkata, “Adapun sebagian penulis yang berpandangan bahwa mazhab Tasyayyu’ (Syi’ah) adalah ciptaan ‘Abdullah bin Saba’, yang dikenal dengan Ibn As-Sauda’, maka itu merupakan khayalan belaka dan sedikitnya pengetahuan mereka tentang mazhab Syi’ah.”

Di dalam Tafsir Al-Qurthubi diriwayatkan: Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala berada di Ghadir Khum beliau menyeru manusia, maka mereka pun berkumpul. Lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali as seraya berkata, ‘Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali sebagai pemimpinnya’.

Berita itu pun tersebar ke seluruh pelosok negeri, dan sampai kepada Harits bin Nukman Al-Fihri. Lalu dia mendatangi Rasulullah saw dengan menunggang untanya. Kemudian dia menghentikan untanya dan turun darinya. Harits bin Nukman Al-Fihri berkata:

“Hai Muhammad, kamu telah menyuruh kami tentang Allah, supaya kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa kamu adalah utusan-Nya, dan kami pun menerimanya.

Kamu perintahkan kami untuk menunaikan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menunaikan zakat, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadhan, dan kami pun menerimanya.

Kamu perintahkan kami untuk melaksanakan ibadah haji, dan kami pun menerimanya. Kemudian kamu tidak merasa puas dengan semua ini sehingga kamu mengangkat tangan sepupumu dan mengutamakannya atas kami semua dengan mengatakan ‘Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya’. ‘Apakah ini dari kamu atau dari Allah?’

Rasulullah saw menjawab: Demi Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah SWT.

Mendengar itu Harits bin Nukman Al-Fihri berpaling dari Rasulullah saw dan bermaksud menuju ke kendaraannya sambil berkata, ‘Ya Allah, seandainya apa yang dikatakan Muhammad itu benar maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.’

Maka sebelum Harits bin Nukman Al-Fihri sampai ke kendaraannya tiba-tiba Allah menurunkan sebuah batu dari langit yang tepat mengenai ubun-ubunnya dan kemudian tembus keluar dari duburnya, dan dia pun mati.

Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya: Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.

(3) - (Siapakah sajakah Syi’ah Ali itu?):  Selain tokoh-tokoh inti sahabat Rasulullah, semisal Abu Dzar al gifari, Salman al farisi, hamzah,malik al asyar,Bilal, ibnu abbas,dll...
Intinya para sahabat yg menjadi syiah Ali bin abi tholib selepas wapatnya sangatlah sedikit.

Sabtu, 01 Februari 2020

Al bayyinat nabi yang diminta oleh kaum Bani Israil


Pembuktian (Al-Bayyinah):1 - Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,

Orang kafir dari ahli kitab dan orang kafir Quraisy mengatakan kepada nabi bahwa mereka tidak akan meninggalkan agama lama mereka sebelum datang pada mereka Al Bayyinat atau bukti yang nyata.

Ketika mereka mengatakan ini, tentu nabi sudah mengajak mereka meninggalkan agama lama untuk memeluk Islam, dan sudah barang tentu nabi dalam mengajak manusia sudah pasti membawa Al Qur'an sebagai bukti yang nyata atau Al bayyinat. 

Lalu Al bayyinat apa lagi yang diminta kaum ahlul kitab dan kafir Quraisy sebagai bukti yang nyata agar mereka bisa meninggalkan agama mereka? Sudah pasti bukan Al Qur'an, karena Al Qur'an sudah disampaikan kepada mereka dan mereka menolak beriman sebelum didatangkan Al bayyinat. Maka sudah pasti bukan Al Qur'an

Al bayyinat seperti apa yang mereka tuntut sebagai syarat mereka meninggalkan agama lama mereka? Sudah tentu hal yang sama atau lebih dari apa yang diterima oleh Musa as.

Musa as memiliki rasul pendamping yaitu Harun as dan ini dimata Ahlul kitab adalah standar kenabian seseorang

Maka itulah mereka meminta hal yang sama dengan apa yang dimiliki oleh Musa as, yaitu rasul pendamping, rasul saksi

Nah Al bayyinat inilah yang dijelaskan dalam Al bayyinat ayat 2

Pembuktian (Al-Bayyinah):1 - Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,

Pembuktian (Al-Bayyinah):2 - (yaitu) seorang Rasul dari Allah (rasul saksi) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (didalam malail a'la),

Bukti yang nyata itu adalah seorang rasul yang membacakan lembaran lembaran yang disucikan, yang berada di dalam malail a'la

Jadi ini tentu adalah syarat yang sangat besar. Dan siapakah yang dipanggil? Ya imam Ali as

Mengapa rasul yang dimaksud bukan nabi Muhammad Saw dan lembaran lembaran yang disucikan itu bukan Al Qur'an? Ya karena ini adalah syarat mereka menerima seruan nabi Muhammad Saw dengan membacakan Al Qur'an kepadanya, dan mereka menolak pindah agama sebelum datang pada mereka seorang rasul yang bisa membacakan lembaran lembaran yang disucikan. Jadi mosok mereka menolak ajakan nabi yang membacakan ayat Al Qur'an agar pindah agama sebelum datang pada mereka nabi Muhammad Saw yang membacakan Al Qur'an? Ini namanya blunder

Jadi sudah jelas bukan ada rasul saksi disisi nabi?

Itu karena sudah syarat bagi seorang nabi yang mengaku menerima kitab dan Hikmah, bahwa memang harus memiliki seoang rasul saksi sebagai pendamping, dan ahli kitab mengetahui hal itu maka dimintalah bukti itu agar mereka bisa pindah agama, itu karena sudah termaktub dalam perjanjian nabi nabi sebelum diturunkan ke dunia

Keluarga 'Imran ('Āli `Imrān):81 - Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul (saksi) yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".

Dan ini berlaku pula bagi nabi Muhammad Saw

Golongan-Golongan yang bersekutu (Al-'Aĥzāb):7 - Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri Muhammad saw) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.

Doa Ibrahim as



Semua keluarga nabi baik paman, istri, anak, cucu, ponakan, menantu, mertua sejatinya adalah Ahlul bait nabi, hanya saja ada ahli bait nabi yang disucikan dan yang tidak disucikan dari Rijsa atau kotoran jiwa. 

Sedang yang disucikan dalam Al ahzab 33 terkhusus hanya pada 4 orang yaitu sebagaimana yang tercantum dalam hadis ini

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mus'ab, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Syaddad Abi Ammar yang telah menceritakan bahwa ia masuk ke dalam rumah Wasilah ibnul Asqa' Radhiyallahu Anhu yang pada saat itu ia sedang berbicara dengan suatu kaum. Lalu mereka menceritakan perihal Ali Radhiyallahu Anhu Ternyata mereka mencacinya, lalu ia ikut mencacinya pula mengikuti mereka. Setelah mereka bubar meninggalkan Wasilah, lalu Wasilah bertanya kepadaku (perawi), "Mengapa engkau ikut mencaci Ali?" Aku menjawab, "Aku lihat mereka mencacinya, maka aku ikut mencacinya bersama mereka." Wasilah bertanya, "Maukah aku ceritakan kepadamu apa yang pernah kulihat dari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam?" Aku menjawab, "Tentu saja aku mau." Wasilah menceritakan pengalamannya, bahwa ia pernah datang kepada Fatimah Radhiyallahu Anhu menanyakan sahabat Ali Radhiyallahu Anhu Fatimah menjawab bahwa Ali sedang pergi menemui Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam Aku (perawi) menunggunya hingga Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam datang dengan ditemani oleh Ali, Hasan, dan Husain radiyallahu 'anhum; masing-masing dari mereka saling berpegangan tangan. Kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam masuk dan mendekatkan Ali dan Fatimah, lalu mendudukkan keduanya di hadapannya. Beliau memangku Hasan dan Husain, masing-masing pada salah satu pahanya. Sesudah itu beliau Shalallahu'alaihi Wasallam melilitkan kain atau jubahnya kepada mereka dan membaca ayat berikut, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Al-Ahzab: 33) Lalu beliau Shalallahu'alaihi Wasallam berkata dalam doanya: Ya Allah, mereka ini adalah ahli baitku (keluargaku), dan ahli baitku lebih berhak.

Abu Ja'far ibnu Jarir telah meriwayatkannya dari Abdul Karim ibnu Abu Umair, dari Al-Walid ibnu Muslim, dari Abu Amr Al-Auza'i berikut sanadnya yang semisal, tetapi dalam riwayat ini ditambahkan bahwa Wasilah bertanya, "Wahai Rasulullah, semoga Allah melimpahkan salawat-Nya kepadamu. Bagaimanakah dengan diriku, apakah termasuk ahli baitmu?" Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

"وَأَنْتَ مِنْ أَهْلِي"

Dan engkaupun termasuk ahli baitku.

Wasilah berkata, "Sesungguhnya hal ini merupakan apa yang selama ini aku dambakan dan kuharap-harapkan."

ثُمَّ رَوَاهُ أَيْضًا عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى بْنِ وَاصِلٍ، عَنِ الْفَضْلِ بْنِ دُكَيْن، عَنْ عَبْدِ السَّلَامِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ كُلْثُومِ الْمُحَارِبِيِّ، عَنْ شَدَّادِ أَبِي عَمَّارٍ قَالَ: إِنِّي لَجَالِسٌ عِنْدَ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ إذ ذكروا عليا فَشَتَمُوهُ، فَلَّمَا قَامُوا قَالَ: اجْلِسْ حَتَّى أُخْبِرُكَ عَنِ الَّذِي شَتَمُوهُ، إِنِّي عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ عَلِيٌّ وَفَاطِمَةُ وَحَسَنٌ وَحُسَيْنٌ فَأَلْقَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ كِسَاءً لَهُ، ثُمَّ قَالَ: "اللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلُ بَيْتِي، اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَأَنَا؟ قَالَ: "وَأَنْتَ" قَالَ: فَوَاللَّهِ إِنَّهَا لَأَوْثَقُ عَمَلِي عِنْدِي

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Abdul Ala ibnu Wasil, dari Al-Fadl ibnu Dakin, dari Abdus Salam ibnu Harb, dari Kalsum Al-Muharibi, dari Syaddad ibnu Abu Ammar yang telah menceritakan bahwa pada suatu hari ia duduk di hadapan Wasilah ibnul Asqa' ketika mereka sedang memperbincangkan sahabat Ali Radhiyallahu Anhu, lalu mereka mencaci Ali. Setelah mereka pergi, Wasilah berkata kepadanya, memerintah­kannya untuk duduk dan jangan pergi sebelum mendengar cerita tentang orang (Ali) yang baru saja mereka caci. Wasilah ibnul Asqa' menceritakan, pada suatu hari ia berada di rumah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam Tiba-tiba datanglah Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain radiyallahu 'anhum. Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menutupi mereka dengan kain jubahnya dan berdoa: Ya Allah, mereka ini adalah ahli baitku. Ya Allah, lenyapkanlah dosa-dosa dari mereka dan bersihkanlah diri mereka sebersih-bersihnya. Aku (Wasilah) bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah denganku?" Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Engkau juga (termasuk ahli baitku)" Wasilah ibnul Asqa' mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya hal ini merupakan amal yang paling kujadikan pegangan bagiku."

Itu artinya orang yang disucikan dari ahlul bait hanya 4 orang. Untuk apa disucikan? Demi menjawab doa Nabi ibrahim as bahwa imam imam itu dari Dzurriat Ibrahim as yang tidak dzalim yaitu yang disucikan dari rijsa penyebab kedzaliman 

Sapi Betina (Al-Baqarah):124 - Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

Itu artinya ahlul bait nabi yang tidak disucikan bisa berbuat dzalim juga, makanya doa nabi Ibrahim as khusus buat keturunannya yang tidak dzalim alias yang disucikan

Siapa mereka? Ya para nabi nabi dan rasul rasul serta imam imam setelahnya

Hal ini juga berarti selain yang disucikan masih bisa berbuat kezaliman, makanya Allah mengatakan "janjiKu ini tidak mengenai orang yang zalim. Itu artinya dari keturunan Ibrahim as pun banyak yang zalim, salah satunya ya Yahudi zionis yang masih merupakan turunan Ibrahim as juga